NEWS, IDenesia.id – Meskipun memiliki tugas untuk menagihkan utang kepada para debitur yang lama menunggak, bukan berarti mengancam bahkan dengan berlaku kasar sangatlah tidak dibenarkan, karena bisa melanggar hukum.
Untuk itulah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta kepada para Debt Collector untuk tidak menggunakan kekerasan ataupun tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial dalam proses penagihan utang kepada konsumen.
Selain itu Tindakan bersifat mempermalukan debiturnya bahkan hingga memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal, OJK sangat melarang untuk para Debt Collector untuk menggunakan cara-cara seperti itu.
Jika hal tersebut dilakukan, baik debt collector maupun pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang menjalin kerja sama atau sebagai pihak pengguna jasa debt collector, bakal terkena sanksi tegas.
IDenesia mengutip dari akun Instagram resmi OJK @ojk, Rabu, 12 Oktober 2022, larangannya antara lain, dilarang menggunakan cara ancaman, melakukan tindakan kekerasan yang bersifat mempermalukan, dan memberikan tekanan baik secara fisik maupun verbal.
"Bagi debt collector dapat dikenakan sanksi hukum pidana," tulis OJK dalam keterangan resminya dikutip dari akun Instagram resminya @ojkindonesia, Rabu 12 Oktober 2022.
"Sementara untuk pelaku usaha jasa keuangan yang menjalin kerja sama dengan debt collector tersebut, dapat dikenakan sanksi oleh OJK berupa sanksi administratif," tulis OJK. Adapun sanksi tersebut, antara lain, peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha.
Sebab itu, PUJK pun wajib mencegah pihak ketiga di bidang penagihan atau debt collector yang bekerja sama dengannya, dari perilaku yang berakibat merugikan konsumen, termasuk penggunaan kekerasan dalam penagihan utang konsumen. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Selain itu, debt collector juga diwajibkan membawa surat tugas dari perusahaan pembiayaan, bukti dokumen debitur wanprestasi, dan salinan sertifikat jaminan Fidusia. “Seluruh dokumen tersebut digunakan untuk memperkuat aspek legalitas hukum dalam proses penagihan pinjaman sehingga mencegah terjadinya dispute,” jelas OJK.
Sebelumnya, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara, menyatakan penguatan perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan sangat diperlukan untuk menyesuaikan perkembangan inovasi dan teknologi yang cepat dan dinamis di sektor jasa keuangan. Hal itu juga dilakukan sebagai upaya perbaikan implementasi perlindungan konsumen oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
"Harapan kami, POJK Nomor 6/POJK.07/2022 ini dapat menjawab kebutuhan hal tersebut agar sektor jasa keuangan dapat tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat," terang Tirta dikutip dari Kontan.
Penyusunan POJK ini juga telah melibatkan berbagai stakeholder antara lain pelaku usaha jasa keuangan dari sektor perbankan, pasar modal dan industri keuangan non-bank. Kemudian melibatkan akademisi, ahli hukum, asosiasi dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS) hingga lembaga swadaya masyarakat untuk mendapatkan masukan atau saran.
Substansi penyempurnaan untuk memperkuat perlindungan konsumen dan masyarakat yang tercakup dalam POJK Nomor 6/POJK.07/2022 antara lain: