Pendaki di Mount Everest meninggalkan banyak sampah yang butuh waktu lama untuk pembersihannya. (Foto: Instagram @mounteverestofficial)

Mount Everest Dipenuhi Sampah Beku, Butuh Bertahun-tahun untuk Membersihkannya

Publish by Redaksi on 6 July 2024

NEWS, IDenesia.id—Dalam tujuh dekade sejak Mount Everest pertama kali ditaklukkan, ribuan pendaki telah mendaki puncaknya, dan banyak yang meninggalkan lebih dari sekadar jejak kaki.

Salah satunya adalah sampah. Bahkan, di kamp tertinggi di gunung tertinggi di dunia itu, sampah yang ditinggalkan pendaki membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibersihkan.

Seorang Sherpa yang memimpin tim yang bekerja membersihkan sampah dan menggali mayat yang membeku selama bertahun-tahun di dekat Puncak Everest mengungkap hal itu.

Tim tentara dan Sherpa yang didanai pemerintah Nepal memindahkan 11 ton sampah, empat mayat dan satu kerangka dari Everest selama musim pendakian tahun ini.

Ang Babu Sherpa, yang memimpin tim Sherpa, mengatakan mungkin masih ada 40-50 ton sampah di South Col, kamp terakhir sebelum pendaki berupaya mencapai puncak.

“Sampah yang tersisa di sana sebagian besar berupa tenda-tenda tua, sebagian kemasan makanan dan tabung gas, botol oksigen, bungkus tenda, dan tali yang digunakan untuk memanjat dan mengikat tenda,” ujarnya seperti dilansir IDenesia dari ABC News, Sabtu, 6 Juli 2024.

Ia mengatakan bahwa sampah tersebut berlapis-lapis dan dibekukan oleh suhu ketinggian 26.400 kaki di mana kamp South Col berada.

Dalam beberapa tahun terakhir, para pendaki diharuskan membawa kembali sampahnya seiring dengan meningkatnya kesadaran di kalangan pendaki terhadap lingkungan.

Peraturan itu berhasil mengurangi jumlah sampah yang tertinggal secara signifikan. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada dekade-dekade sebelumnya atas sejak puncak ini pertama kali ditaklukkan pada tahun 1953.

“Sebagian besar sampah berasal dari ekspedisi lama,” kata Ang Babu.

Ang Babu mengatakan cuaca merupakan tantangan besar bagi pekerjaan mereka di wilayah South Col, di mana tingkat oksigen sekitar sepertiga dari jumlah normal, angin dapat dengan cepat berubah menjadi kondisi badai salju dan suhu turun drastis.

“Kami harus menunggu cuaca bagus ketika matahari akan mencairkan lapisan es. Tapi menunggu lama dengan sikap dan kondisi seperti itu tidak mungkin dilakukan. Sulit untuk tinggal lama dengan tingkat oksigen yang sangat rendah,” jelasnya.

Menggali sampah juga merupakan tugas besar, karena sampah tersebut membeku di dalam es dan memecahkan balok es bukanlah hal yang mudah.

Butuh waktu dua hari untuk menggali satu jenazah di dekat South Col yang membeku dalam posisi berdiri jauh di dalam es, katanya. Di tengah perjalanan, tim harus mundur ke kamp yang lebih rendah karena cuaca yang memburuk, dan kemudian melanjutkan kembali setelah cuaca membaik.

Mayat lainnya berada jauh lebih tinggi di ketinggian 8.400 meter (27.720 kaki) dan memerlukan waktu 18 jam untuk membawanya ke Kamp 2, di mana helikopter mengambilnya.

Jenazah tersebut diterbangkan ke Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tribhuvan di Kathmandu untuk diidentifikasi.

Dari 11 ton sampah yang dibuang, tiga ton barang yang dapat membusuk dibawa ke desa-desa dekat pangkalan Everest dan delapan ton sisanya diangkut oleh kuli angkut dan yak lalu dibawa dengan truk ke Kathmandu. Di sana sampah tersebut dipilah untuk didaur ulang di fasilitas yang dioperasikan oleh Agni Ventures, sebuah lembaga yang mengelola sampah yang dapat didaur ulang.

“Limbah tertua yang kami terima berasal dari tahun 1957, dan itu adalah baterai yang dapat diisi ulang untuk lampu obor,” kata Sushil Khadga dari badan tersebut.

Lalu mengapa pendaki meninggalkan sampah? “Di ketinggian itu, kehidupan sangat sulit dan oksigen sangat rendah. Jadi pendaki dan pembantunya lebih fokus menyelamatkan diri,” kata Khadga.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross