Ilustrasi kucing belang tiga (Foto: Pixabay)

Cerita Rakyat Sulawesi Selatan: Meongmpalo Karellae

Publish by Redaksi on 18 November 2023

NEWS, IDenesia.id - Kucing belang tiga adalah salah satu jenis kucing yang kebanyakan berjenis kelamin betina, sebab terdapat kelainan kromosom yang menyebabkan kelangkaan jenis kelamin jantan, kalaupun ada, biasanya cacat dan tidak bertahan lama.

Namun, pernahkah Anda mendengar cerita rakyat masyarakat Bugis tentang kucing belang tiga, Mengmpalo Karellae? Konon, Meongmpalo Karellae adalah kucing jantan belang tiga yang menjadi pengawal setia Dewi Padi atau Sangiang Serri dalam kitab Sureq Lagaligo.

Kisah ini merupakan sebuah mitos mengenai We Oddangriu puteri Batara Guru yang setelah meninggalnya, menjelma menjadi Dewi Padi (Sangiang Serri), Meongmpalo Karellae adalah penjelmaan dari ibu susuan (Inannyumparenna) We Oddangriu yang menceritakan pengembaraan Sangiang Serri dan pengikutnya ke beberapa negeri Bugis untuk mencari manusia yang berbudi baik dan berlaku sopan santun.

 

Kisah Meongmpalo Karellae dan Sangiang Serri

Alkisah, Meongmpalo Karellae pada awalnya tinggal di daerah Tempe, Kabupaten Wajo. Di sana, ia senantiasa bahagia dan hidup tenteram sebab pemilik rumah tempat ia tinggal begitu penyabar, berbudi luhur, serta bijaksana. 

Akan tetapi, nasib buruk menimpa Meongmpalo Karellae dan membawanya pada kehidupan berpindah-pindah dan serba sulit di Soppeng, lalu Bulu, dan akhirnya menetap di Lamuru.

Meongmpallo Karellae seringkali disiksa oleh tuan pemilik rumah tempat ia tinggal. Suatu waktu, pemilik rumah memukulnya dengan gagang parang atas hukuman karena telah mengambil ikan ceppek-ceppek milik sang tuan rumah, sebab itu, Meongmpalo Karellae lari terbirit-birit menuju Enrekang dan sampailah di Maiwa. Namun, nasib buruk masih saja membayanginya, sama seperti saat masih di Lamuru.

Di sebuah rumah di Maiwa, Meongmpallo Karellae lagi-lagi kena lempar sakkaleng (papan yang sering digunakan sebagai alas pembersih ikan) oleh tuan rumah tempat ia tinggal saat ia tengah memakan kerak nasi dan tulang ikan. Meongmpalo kembali lari hingga naiklah ia ke atas lumbung padi tempat Sangiang Serri sang dewi padi bersemayam.

Mendengar keributan yang terjadi, Sangiang Serri terbangun dan menjadi sangat murka atas perbuatan penghuni rumah kepada Meongmpalo dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Sangiang Serri dan Meongmpalo akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat yang baik, namun tidak menemukan satupun tempat yang menurutnya nyaman untuk ditinggali dan dengan orang yang berhati baik.

Melihat keadaan itu, Sangiang Serri memutuskan untuk kembali ke langit tempat ia mula-mula berasal dan mengadu ke ayahandanya, Batara Guru. Sang ayah lalu menasehati putrinya dan meminta Sangiang Serri untuk kembali ke Bumi.

Diantar oleh halilintar dan guntur, dengan berat hati, Sangiang Serri lalu kembali ke Bumi, dan sampailah ia di tanah Barru.

Di tanah Barru, Sangiang Serri disambut oleh Pabbicara (juru bicara) dengan penghormatan yang layak dan pelayanan yang baik pula. Hal ini menyenangkan hati Sangiang Serri, ia pun memutuskan untuk tinggal di daerah Barru, dengan syarat Pabbicara dan masyarakat BArru mau mengamalkan amanah Batara Guru.

 

Tradisi Maddoja Bine

Kisah ini dulunya dibacakan pada saat upacara Maddoja Bine, sebuah upacara penyemaian bibit padi. Dipercayai bahwa jika sang pembawa cerita merasakan kegembiraan saat membacanya, maka menjadi pertanda hasil panen yang baik, dan sebaliknya.

Meski begitu, seremonial pembacaan kisah ini sudah jarang ditemukan di zaman sekarang dan tidak lagi menjadi bagian budaya masyarakat saat ini.

 

Sumber ringkasan Meongmpalo Karallae di atas dilansir IDenesia dari laman Arsip Warisan Budaya Tak Benda BPNB Sulsel, Sabtu, 18 November 2023.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross