Desa Wisata Tempur. (Foto: Instagram/ @jepara.tempur).

Desa Tempur dengan Pamor Kopi yang Bawa Kesejahteraan bagi Para Petani

Publish by Redaksi on 17 December 2022

NEWS, IDenesia.id - Desa Tempur di Kabupaten Jepara dikenal sebagai penghasil kopi berkualitas. Daerah yang berlokasi di kawasan lereng Gunung Muria ini mampu menghasilkan 700 ton kopi per tahun. Kopi membawa kemakmuran.

Kualitas rasa kopi dari Desa Tempur telah diakui masyarakat luas. Hal ini terbukti dengan tingginya permintaan dari lokal maupun luar Jawa. Seiring meningkatnya permintaan, sekitar 30 warga kini telah memproduksi kopi sendiri.

Padahal masyarakat Desa Tempur dulunya hidup terpencil dalam himpitan kemiskinan. Namun keseriusan dan ketekunan membudidayakan kopi membuat mereka mulai sejahtera. Bahkan kopi pun menjadi tujuan wisata.

Desa Tempur yang dihuni sekitar 3.000 keluarga ini hingga lima tahun lalu terbilang sepi. Namun, kondisi jalan menuju Desa Tempur kini membaik. Itu semua tak lepas dari upaya warga membudidayakan kopi.

“Sejak kopi Tempur mulai dikenal masyarakat luar, bantuan saran peningkatan jalan dari Pemerintah Kabupaten Jepara membuat kondisi jalan beraspal dan mulus. Jalan aspalnya bahkan sampai Dusun Duplak, dusun tertinggi di Tempur,” ujar Zaenudin warga Dusun Tumpur yang dimuat Kompas.

Kebun kopi di Desa Tempur sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun silam. Tidak hanya di desa itu, tetapi juga di desa tetangga seperti Damarwulan, Sumanding, dan Kunir. Meski demikian petani awalnya memetik biji kopi hijau bukan merah.

Hal itu terpaksa dilakukan untuk mengejar kebutuhan sehari-hari. Biji kopi basah itu dijual murah hanya Rp4.000 kg hingga Rp5.000 per kg. Menurut Gunadi, salah satu petani menyebut alasan memetik biji kopi hijau karena takut keburu kena hama.

Sementara itu setiap panen, lanjut Gunadi, satu pohon menghasilkan 2-5 kg biji kopi basah. Petani menjual dalam bentuk basah karena tak mau repot. Akan tetapi pendapatan petani rendah hanya sekitar Rp1,2 juta setiap musim.

Kebiasaan petani memetik biji kopi muda itu baru berubah setelah kopi Tempur memenangi lomba kopi di Yogyakarta pada 2015. Pada uji cita rasa pada lomba yang diikuti kopi-kopi terbaik se-Indonesia, Kopi Tempur berhasil memperoleh penghargaan tertinggi.

“Ketika itu, Kopi Toraja mendapat poin 8,2, sedangkan Kopi Tempur 8,1,” jelas Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Sido Makmur Desa Tempur, Syaiful Anwar.

Penghargaan tersebut memberikan semangat, lalu mereka memberi edukasi kepada para petani lain untuk memulai petik merah. Pada saat yang sama, Gapoktan juga bertindak sebagai pengepul dari hasil panen kopi petani.

“Dengan harga lebih tinggi, petani berlomba melakukan petik biji merah. Hasilnya pendapatan naik menjadi lebih dari Rp2,5 juta per musim,” ujar Jatmiko.

Penghargaan atas Kopi Tempur memancing perhatian dari pemerintah daerah setempat. Mereka mulai membantu dengan menyediakan sejumlah mesin pengolah kopi, seperti mesin pemecah kulit, mesin penyaring, dan mesin sangrai.

Winarto Herusansono dalam Beranjak Makmur Berkat Kopi Tempur menyebut biji kopi benar-benar menjadi penggerak ekonomi desa. Petani pun berani membeli mesin pengolah sendiri ke perajin logam di Pati seharga Rp17 juta.

Gapoktan Sido Makmur juga memelopori pengolah kopi. Hasilnya tidak ada lagi kopi basah atau biji kopi mentah keluar dari desa. Petani menjual kopi dalam tiga jenis, yaitu biji kopi kering, biji sangrai, dan bubuk.

Dengan produksi sekitar 800 ton per musim tanam, Gapoktan Sido Makmur dipercaya mengirim permintaan kopi sangrai dari sejumlah kafe di Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Malang.

Sementara itu, Desa Tempur juga memiliki ritual Wiwitan petik kopi. Ritual ini dimulai dengan memilih biji kopi terbaik dari beberapa pohon. Selanjutnya, tokoh masyarakat mengawali tradisi panen dengan musik tradisional dan diakhiri makan bersama.

Beberapa waktu terakhir, kopi memang dimanfaatkan sebagai agrowisata. Wisatawan juga menyaksikan petani mengolah kopi, mulai dari memecah biji sampai kaum perempuan menumbuk biji kopi untuk konsumsi sendiri.

“Kini, desa yang dulunya terisolasi mulai merekah. Saat musim panen, sebagian besar tepi jalan digunakan untuk menjemur biji kopi. Beberapa keluarga membuka kedai kopi di dusun,” papar Winarto.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross