Bocah bajang menjadi daya tarik tersendiri di Dieng Culture Festival (kemenparekraf.go.id)

Kisah Unik di Balik Pemotongan Rambut Bocah Bajang di Dieng Culture Festival

Publish by Redaksi on 11 September 2022

NEWS, IDenesia.id — Pemotongan rambut bocah bajang di Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah menjadi daya tarik tersendiri di Dieng Culture Festival (DCF). Namun, di balik prosesi sakral itu, ada banyak cerita unik serta menarik dari para bocah itu.

Para bocah bajang sebutan untuk bocah atau anak yang punya rambut panjang dan tumbuh gimbal memiliki permintaan khusus sebelum mengikuti proses ruwatan.

Saat ritual budaya yang digelar pada 2-4 September 2022 di kawasan kompleks Candi Arjuna, Dieng Kulon, ada bocah bajang yang meminta mandi salju, kambing, hingga meri atau anak bebek dua ekor berwarna kuning.

Yumna Arsyla Kinasti, 5 tahun, salah satu dari 15 anak yang mengikuti ritual yang sudah kali ke-13 itu adalah salah satu bocah yang memiliki permintaan khusus. Anak ketiga dari pasangan Wagiyo (42 tahun) dan Sifit Nur Aini (35 tahun) itu meminta sepeda, baju, kacamata renang, hingga baju renang.

Namun, semua barang permintaannya harus berwarna merah muda (pink). Selain itu, barang-barang itu mesti bergambar kuda poni.  Setelah prosesi potong rambut, dan rambutnya dilarung ke telaga Balekambang, Syla, sapaan akrab Yumna Arsyla Kinasti pun mendapat apa yang ia inginkan. Saking senangnya, sepeda berwarna pink langsung ia tunggangi kembali ke rumahnya.

Dalam mitologi Dieng, bocah bajang atau anak berambut gimbal dianggap sebagai titisan para leluhur Dieng Plateau.

Untuk anak laki-laki, rambut gimbal sebagai tanda titisan Kiai Kolodete. Yaitu, penguasa Dataran Tinggi Dieng yang bersemayam di Telaga Balaikambang. Sementara rambut gimbal pada anak perempuan dianggap sebagai titisan Nyai Dewi Roro Ronce, abdi penguasa Pantai Selatan Nyai Roro Kidul.

Sifit menceritakan kepada pengunjung saat berjumpa di kediaman mbah Sumanto, pemangku adat di Dieng Kulon, awal mula saat mengetahui putri bungsunya itu memiliki rambut gimbal. Itu terjadi ketika Syla berumur dua tahun.

Sebelum rambut gimbalnya muncul, Syla demam hebat berhari-hari. Hingga dibawa ke dokter pun, Syla tak kunjung membaik. “Demam tinggi berhari-hari waktu ia umur dua tahun,” katanya disadur IDenesia.id dari kemenparekraf.go.id, Minggu, 11 September 2022.

Hal unik lainnya muncul saat Syla berumur empat tahun persis saat pandemi melanda tanah air. Jika ada orang yang akan meninggal biasanya ia mengalami saat-saat ketakutan selama beberapa waktu.

“Bilang emoh-emoh (tidak-tidak) seperti melihat sesuatu gitu. Dan ternyata setelah itu, ada kabar tetangga meninggal dunia. Ketakutan Syla itu terus berulang selama satu tahun. Hingga akhirnya Syla sudah tidak seperti itu lagi, mungkin karena sudah terbiasa, lantaran pandemi COVID-19 waktu itu banyak menyebabkan korban jiwa,” ujarnya.

Tingkah laku Syla selama ini juga berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yaitu Afrizal Bagas Sugiarto (16) dan Rafa Maulana Sugiarto (9) yang begitu pendiam.

“Syla anaknya aktif banget beda sama kakaknya. Kalau minta memang harus dituruti. Dia itu cepat akrab sama orang,” ujarnya.

Sekilas, Syla tampak seperti layaknya anak kecil pada umumnya, tingkahnya lucu dan menggemaskan sesekali ia juga melempar senyuman ke orang di sekelilingnya, termasuk pendatang.

Sang Ayah Wagiyo berharap dengan mengikuti upacara rambut gimbal, putrinya bisa kembali normal seperti anak-anak lainya. “Setelah diruwat, kami inginnya Syla jadi anak soleha, anak yang pinter, dan seperti anak-anak umumnya,” kata Wagiyo.

Saat upacara rambut gimbal, Syla bersama 15 orang teman gimbalnya berpakaian serba putih dibalut kain batik berwarna ungu sebagai bawahannya. Tak lupa sehelai benang untuk ikat kepala putih juga disematkan.

Ritual dipandu oleh pemangku adat bernama Mbah Sumanto. Setelah diarak menggunakan kereta kuda, Ritual Jamasan dilewati Syla bersama teman senasibnya sebelum akhirnya prosesi pemotongan rambut di Candi Arjuna dilakukan.

Kesakralan prosesi adat pencukuran pun semakin kental dengan iringan suara gending Jawa dan suluknya. Ada ‘mantra’ yang diucapkan saat prosesi dimulai. Pengantarnya seperti, ‘Sang maha wiku, pangaksama tusadyo, loka pati pitaka, katemah bagya’. Lanjutannya, ‘pangeranku imam banyu putih witapa, banyu abang seka si biyung, adem tan winasa’.

Beberapa mantra yang dipanjatkan, seperti ‘ya marani nira maya’ yang berarti dijauhkan siapapun yang akan berbuat jahat. Lanjutannya, ‘ya silapa palasia’ dengan maksud orang yang menyebabkan kelaparan justru memberikan makannya. Atau, ‘jamiroda doramiya’ yang artinya mereka yang suka memaksa justru memberikan kebebasan.

Keberadaan anak Bajang di Dieng memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah, dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna.

Serta dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah, dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain.

Tidak ada kesan untuk mengeksploitasi bocah gimbal dalam perhelatan tersebut. Apalagi untuk materi. Hal itu justru membantu keluarga di wilayah itu untuk melestarikan sekaligus meningkatkan kesejahteraan hidupnya melalui sebuah acara bertajuk Dieng Culture Festival.

Bocah Bajang boleh jadi merupakan fenomena langka namun keberadaannya mencerminkan ada budaya yang harus dilestarikan agar tak lekang seiring zaman.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross