Tradisi Mappadendang (foto:101indonesia)

Mappadendang, Tradisi Pesta Panen Masyarakat Bugis

Publish by Redaksi on 20 March 2024

NEWS, IDenesia.id - Kearifan lokal merupakan kebudayaan suatu daerah. Di mana hal itu diwariskan secara turun temurun dan menjadi sebuah tradisi.

Suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan salah satu yang masih memegang dan sangat kental dengan kearifan lokalnya. Salah satunya adalah Mappadendang atau Appadekko.

Mappadendang

Mappadendang atau yang lebih dikenal dengan sebutan pesta pascapanen pada Suku Bugis merupakan suatu pesta syukur atas keberhasilannya dalam menanam padi kepada yang maha kuasa.

Mappadendang sendiri merupakan suatu pesta yang diadakan besar-besaran dengan acara penumbukan gabah pada lesung dengan tongkat besar sebagai penumbuk. Orang-orang akan berkumpul di suatu tempat (biasanya di tengah sawah) untuk melakukan penumbukan gabah secara besama.

Mappadendang sendiri bukan hanya mengenai pesta pascapanen tapi juga memiliki nilai tersendiri. Disebut juga sebagai penyucian gabah yang dalam artian masih terikat dengan batangnya dan terhubung dengan tanah menjadi ase (beras) yang nantinya akan menyatu dengan manusianya. Olehnya perlu dilakukan pensucian agar lebih berkah.

Mappadendang merupakan upacara syukuran panen padi dan merupakan adat masyarakat bugis sejak dahulu kala. Biasanya dilaksanakan setelah panen raya atau memasuki musim kemarau pada malam hari saat Bulan Purnama.

Pada dasarnya Mappadendang berupa bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk Padi. Komponen utama dalam acara ini yaitu 6 perempuan, 3 pria, bilik Baruga, lesung, alu, dan pakaian tradisional yaitu baju Bodo.

Acara mappadendang akan dimulai dengan penampilan Tari Mappadendang. Dalam tarian ini para pria akan menumbuk alu kosong dengan irama tertentu. Setelah itu para wanita akan menari diiringi musik atau kecapi.

Penari pria akan menggunakan lilit kepala serta berbaju hitam, seluar lutut kemudian melilitkan kain sarung hitam bercorak. Sedangkan para wanita wajib menggunakan baju bodo, baik saat menari maupun saat menumbuk alu.

Alat yang digunakan dalam Mappadendang seperti:

Lesung panjangnya berukuran kurang lebih 1,5 meter dan maksimal 3 meter. Lebarnya 50 cm, bentuk lesungnya mirip perahu kecil (jolloro; Makassar) namun berbentuk persegi panjang.

Enam batang alat penumbuk yang biasanya terbuat dari kayu yang keras ataupun bambu berukuran setinggi orang dan ada dua jenis alat penumbuk yang berukuran pendek, kira-kira panjangnya setengah meter.

Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga disebut Pakkindona. Kemudian pria yang menari dan menabur bagian ujung lesung disebut Pakkambona. Bilik baruga terbuat dari bambu, serta memiliki pagar dari anyaman bambu yang disebut walasoji.

Personel yang bertugas dalam memainkan seni menumbuk lesung ini atau Mappadendang dipimpin oleh dua orang, masing-masing berada di ulu atau kepala lesung guna mengatur ritme dan tempo irama dengan menggunakan alat penumbuk yang berukuran pendek tersebut di atas, biasanya yang menjadi pengatur ritme adalah mereka yang berpengalaman.

Sedangkan menumbuk di badan lesung adalah mereka perempuan atau laki-laki yang sudah mahir dengan menggunakan bambu atau kayu yang berukuran setinggi badan orang.

Seiring dengan nada yang lahir dari kepiawaian para penumbuk, biasanya dua orang laki-laki melakukan Tari Pakarena. Isi lesung yang ditumbuk berisi gabah atau padi ketan putih/hitam (ase punu bahasa bugis) yang masih muda dan biasanya kalau musim panen tidak dijumpai lagi padi muda, maka biasanya padi tua yang diambil sebagai pengganti, akan tetapi sebelum ditumbuk padi itu terlebih dahulu direbus kemudian disangrai dengan menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat tanpa menggunakan minyak dengan memakai api dari hasil pembakaran kayu.

Di Makassar dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan Appadekko, yang berarti adengka ase lolo atau kegiatan menumbuk Padi muda. Bagi komunitas Pakalu, ritual Mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari.

Rangkaian acara mappadendang dilakukan dengan memanggil ibu-ibu dari tetangga rumah untuk menumbuk padi. Kadang ketika tengah menumbuk padi tak jarang para Ibu menyanyikan lagu secara besama.

Setelah itu, orang-orang akan melanjutkan acara dengan mandre atau makan bersama untuk menikmati hasil panen mereka. Biasanya makanan hasil panen mereka didampingi dengan beppa pitung rupa atau kue tujuh jenis.

Ketika Mappadendang dilaksanakan tak jarang masyarakat dari daerah lain akan datang melihat kegiatan tersebut. Mereka semua akan ikut menari, menumbuk lesung, ikut bermain, ataupun hanya sekadar berkumpul dengan sanak saudara.

Sebenarnya selain untuk menunjukkan rasa syukur kepada tuhan akan keberhasilan hasil panen, Mappadendang juga ajang untuk mempererat tali persaudaraan, silaturahmi, dan memperkenalkan budaya Bugis kepada masyarakat, melestarikan budaya Bugis, menarik wisatawan, serta memperkenalkan kue-kue tradisional khas Bugis.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross