Pelaksanaan Accera Kalompoang di Kabupaten Gowa, Sulsel. (Foto: Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual-Kemenkumham RI/[email protected])

Menyibak Misteri Semesta Saat Penimbangan Salokoa dalam Ritual Accera Kalompoang di Gowa

Publish by Redaksi on 10 October 2023

NEWS, IDenesia.id - Melestarikan kebudayaan dan tradisi zaman lampau masih terus dijaga dan dipertahankan hingga saat ini. Kondisi ini berlaku di semua etnis masyarakat di Indonesia. Termasuk suku Makassar di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Setiap 10 Dzulhijjah atau Hari Raya Idul Adha, ada sebuah tradisi bagi masyarakat setempat khususnya Pemerintah Kabupaten Gowa yang disebut dengan Accera Kalompoang. 

Tradisi kerajaan yang berlangsung secara rutin dan turun temurun ini dilaksanakan oleh keluarga Kerajaan Gowa bersama pemerintah usai salat Iduladha di Museum Istana Balla Lompoa. Dilansir dari laman resmi Humas Pemkab Gowa, Selasa, 10 Oktober 2023, Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di museum. 

Maksud dari upacara ini adalah Allangiri Kalompoang, yaitu pembersihan dan penimbangan Salokoa (mahkota) yang dibuat pada abad ke-14. Mahkota ini  pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja-raja Gowa berikutnya. Upacara ini merupakan salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini dan dihormati oleh masyarakat Gowa. 

Prosesnya sendiri dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu I Mangngarangi Daeng Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama kali memeluk agama Islam. Yang menarik dari pelaksanaan upacara Accera Kalompoang adalah pada saat penimbangan Salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. 

Penimbangan mahkota tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena penimbangan itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki dengan menambah atau mengurangi timbangannya. Namun pada saat penimbangan dilakukan dalam hal ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah. 

Terkadang berkurang dan terkadang pula lebih. Jika timbangan mahkota tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana di negeri mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan terbukti terjadi tanah longsor di Gunung Bawakaraeng yang menelan puluhan korban. Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. 

Suatu ketika, mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh siapapun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya namun tetap saja tidak sanggup. Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat sulit untuk dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka senantiasa mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera Kalompoang yang mereka anggap sakral ini.

Benda-benda kerajaan yang dibersihkan selain penimbangan Salokoa, meliputi tombak rotan berambut ekor kuda (Panyanggaya Barangan), parang  besi tua (Lasippo), keris emas yang memakai permata (Tatarapang), senjata sakti sebagai atribut raja yang berkuasa (Sudanga), gelang emas berkepala naga (Ponto Janga-jangaya), kalung kebesaran (Kolara), anting-anting emas murni (Bangkarak Taroe), dan kancing emas (Kancing Gaukang).

Selain benda-benda pusaka tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla Lompoa turut dibersihkan, seperti kalung dari Kerajaan Zulu, Filipina, pada abad XVI, tiga tombak emas, parang panjang (Berang Manurung), penning emas murni pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M, dan medali emas pemberian Belanda.

Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama oleh para peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus. 

Yakni digosok dengan minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-raja Gowa, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat acara. Semoga kebudayaan masyarakat di nusantara bisa tetap lestari. 

 

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross