Tari Pattennung (Foto: instagram/muri_org)

Pattennung, Tarian Khas Sulsel Simbol Ketekunan Perempuan Bugis

Publish by Redaksi on 24 November 2023

NEWS, IDenesia.id - Sebagai penghasil sutra terbesar di Indonesia, masyarakat Sulawesi Selatan juga memiliki tarian yang terinspirasi dari kegiatan para perempuan Bugis dalam menenun sutra, namanya Tari Pattennung.

Dilansir IDenesia dari Jurnal Pangadereng, Jumat, 24 November 2023, Tari Pattennung merupakan salah satu tari kreasi masyarakat Bugis. Tarian ini menggambarkan kebiasaan perempuan Bugis menenun benang, sehelai demi sehelai, mulai dari memintal hingga menjadi sebuah kain.

Adapun penenun kain di Sulawesi Selatan sendiri banyak ditemukan di daerah Sengkang, Kabupaten Wajo.

Tarian ini diciptakan oleh Andi Siti Nurhani Sapada, pendiri Institut Kesenian Sulawesi, pada tahun 1962. Tari Pattennung kemudian menjadi populer, bahkan pada tahun 1975, Andi Siti Nurhani Sapada membawa Tari Pattennung bersama dengan tari bosara hingga ke panggung di benua Australia.

Tari Pattennung terinspirasi dari pengamatan sang pencipta melihat giatnya masyarakat Sulawesi Selatan dalam mengerjakan berbagai kain tenun, salah satunya sarung sutra Lipa Sabbe. 

Awalnya, tari ini dibawakan oleh sekelompok penari dalam jumlah genap, biasanya berjumlah enam orang perempuan menggunakan baju adat Bugis-Makassar, baju bodo.

Belakangan, jumlah genap atau ganjil tersebut sudah tidak terlalu diperhatikan lagi.

Tarian ini biasanya dibawakan pada momen suka cita seperti saat penjemputan tamu, pesta adat, maupun perlombaan, tarian ini memiliki gerakan yang selaras dan indah dilihat. 

Ada tujuh gerakan inti yang merupakan susunan gerakan awal hingga akhir kegiatan menenun dalam Tari Pattennung.

Gerakan pertama disebut Monu, sebuah aktivitas mengolah kapas menjadi benang dengan cara dimasak dan ditarik sedemikian rupa. Lalu dilanjutkan dengan Mapali, atau memintal benang. Gerakan Mapali dilakukan dalam posisi duduk berlutut.

Setelah gerakan Monu dan Mapali, gerakan selanjutnya disebut dengan Macello, artinya mencelupkan benang ke dalam pewarna. 

Gerakan ini dilakukan dengan tangan kiri berada di samping atau sejajar dengan kepala, jari-jari tangan pun dilentikkan dan diayunkan ke bawah, kemudian diikuti dengan tangan kanan yang juga diayun ke bawah sehingga sejajar dengan tangan kiri.

Selanjutnya adalah gerakan Riassoi, yaitu gerakan yang melambangkan penjemuran benang yang telah selesai direndam. Setelah itu dilanjutkan dengan gerakan Masau, gerakan menarik benang panjang untuk digulung. 

Dalam gerakan Masau, penari berada dalam posisi berdiri dan melangkah ke belakang sambil berjinjit secara berulang seperti saat menarik benang panjang ke papan pemintalan.

Gerakan inti keenam adalah gerakan memasukkan benang ke dalam sisir tenun atau yang disebut dengan gerakan Apparisi. 

Pada gerakan ini, alunan musik yang mengiringi Tari Pattennung akan melambat, melambangkan proses yang memerlukan konsentrasi dan fokus yang tinggi.

Terakhir, barulah masuk gerakan Mattennung atau menenun. Para penari berada dalam sikap duduk sambil tangan digerakkan ke kanan dan ke kiri mengikuti hentakan musik pengiring, dengan pola sekali hentakan ke kanan, dilanjutkan dengan dua kali hentakan ke kiri, kemudian pindah lagi ke sebelah kanan dalam dua hentakan.

Iringan musik menjadi unsur yang sangat penting dalam gerakan Mattennung sebab unsur hentakan tadi juga terdapat dalam kegiatan menenun di kehidupan sebenarnya, menjadi tanda bagi orang-orang sekitar bahwa sedang dilakukan proses menenun kain khas masyarakat Sulawesi Selatan, Lipa Sabbe.

Hingga saat ini, tarian yang melambangkan nilai-nilai ketekunan, kerja keras, kesabaran, semangat, serta keindahan ini masih tetap eksis dan terus dikembangkan oleh berbagai sanggar seni di Sulawesi Selatan.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross