Relief Kapal Nusantara Candi Borobudur (Foto: Lontara Project)

Philip Beale dan Kisah Kapal Nusantara di Relief Candi Borobudur

Publish by Redaksi on 13 November 2023

NEWS, IDenesia.id - Nusantara telah dikenal sebagai negara maritim yang berjaya pada masanya. Bukti kejayaan ini tergambarkan pada salah satu relief istimewa yang terabadikan di candi Borobudur, salah satu peninggalan sejarah era Dinasti Syailendra dari abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, yaitu relief Kapal Nusantara.

Dilansir IDenesia dari laman Lontara Project, Senin, 13 November 2023, terdapat kisah menarik dibalik relief tersebut yakni proyek Kapal Borobudur, dan para pelaut dari suku Bajo, Bugis serta Mandar.

Pada tahun 1982, Philip Beale, seorang veteran Angkatan Laut Kerajaan Inggris sedang melihat-lihat rangkaian relief yang mengisahkan cerita Jataka-Avadana di salah satu panel Galeri I Candi Borobudur.

Sejak pertama kali Beale melihat relief tersebut—sebuah relief yang menampilkan kapal berukuran besar dengan layar, tiang layar, tali-temali, dan kemudi khas Nusantara—ia dihantui oleh rasa penasaran dan bercita-cita untuk menciptakan replika berukuran asli dari kapal tersebut.

Philip Beale, berkolaborasi bersama seorang arkeolog asal Australia, Nick Burningham, dan diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, kemudian memulai rencananya untuk mewujudkan kapal layar impiannya dengan sebuah rancangan desain kapal yang terinspirasi dari relief di Candi Borobudur itu.

Dalam mewujudkannya, Philip dan Nick kemudian mencari pengrajin kapal di tanah air yang masih mempraktikkan metode pembuatan kapal dengan cara tradisional, hingga akhirnya dipertemukanlah keduanya dengan komunitas pelaut dan pengrajin kapal di daerah perbatasan antara Pulau Jawa dan Pulau Madura, tepatnya di Pulau Pagerungan Kecil.

Wilayah yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Sumenep, Madura itu sudah begitu bercampur-baur dan hidup saling menghormati. Pulau itu diisi oleh berbagai suku, antara lain suku Madura, Mandar, Bajo, dan Bugis.

Menariknya, di daerah tersebut, banyak warga yang mengaku berasal dari suku Mandar namun berbahasa Bajo serta menggunakan perahu lete-lete yang merupakan desain lokal Madura.

Dipilihlah Pak As’ad Abdullah, seorang pengrajin perahu keturunan Bugis yang lahir dan besar di pulau tersebut menjadi pemimpin proyek pembangunan kapal Borobudur impian Beale. Ia merupakan sosok yang sudah tersohor kemampuannya dalam pembuatan perahu tradisional.

Bersama dengan para pelaut dan tukang perahu dari kalangan suku Bajo dan Mandar, kapal Borobudur pun kemudian berhasil diwujudkan. Kayunya dipesan Pak As’ad Abdullah dari Pulau Sepanjang, pulau yang juga banyak dihuni oleh masyarakat dari suku Mandar, tukang-tukangnya berasal dari Pualau Pagerungan Kecil dan Pagerungan Besar, pulau yang masih banyak ditemukan kapal khas Mandar, perahu Pakur, yang di tempat asalnya di Mandar pun sudah tidak banyak ditemukan.

Para tukang perahu dari suku Mandar dan Bajo ini bekerja dengan sangat rapi dan profesional, dalam catatan Nick Burningham disebutkan para tukang perahu ini dengan mudah menyesuaikan cara memasang papan pada perahu sesuai dengan rekonstruksi arkeologi atas temuan kapal-kapal kuno di Nusantara.

Pak As’ad Abdullah juga banyak memberikan masukan perihal desain kapal dari Philip dan Nick sehingga membuat bentuk kapal Borobudur itu menjadi lebih nyata. Beliau banyak menjelaskan filosofi tradisional terkait anatomi perahu dari komunitas Bugis, Bajo, dan Mandar.

Diibaratkan bagai tubuh manusia, setiap perahu pasti memiliki kepala, tulang punggung, hingga pusar. Selain itu, kapal Borobudur juga konon memiliki ‘jiwa’ di dalamnya. Kapal itu lalu diberi nama Lallai Baka Ellau yang dalam Bahasa Bajo berarti: “Berlari bersama Matahari”.

Dalam jangka waktu enam bulan, kapal Borobudur akhirnya selesai dikerjakan, dan dipakai berlayar menyusuri Jalur Kayu Manis yang dahulu dilayari kapal-kapal Nusantara menuju Afrika, dengan rute dari Pelabuhan Ancol, Jakarta menuju Port Tema, Accra, ibukota Ghana.

Tanggal 15 Agustus 2003, Lallai Baka Ellau mendarat di Ancol. Presiden Megawati kemudian meresmikan kapal tersebut pada tanggal 17 Agustus, sekaligus memberikan Lallai Baka Ellau sebuah nama baru, Samudera Raksa, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti “Pelindung Lautan”.

Setelah melayari Samudera Hindia dan mengitari Tanjung Harapan, kapal tersebut akhirnya berlabuh di museum Samudera Raksa di kawasan Candi Borobudur, dan hingga kini menjadi bagian pameran permanen museum tersebut.

Kehadiran kapal Samudera Raksa kemudian menjadi bukti bahwa nenek moyang kita pada abad ke-8 Masehi memang memiliki kemampuan berlayar menyeberangi samudera hingga beribu-ribu kilometer.

Kapal ini juga menjadi bukti yang merekam peran para pengrajin perahu dari beragam suku di Nusantara yang masih terus melestarikan tradisi tersebut, tanpa mereka, bangsa Indonesia mungkin tidak akan pernah menjadi bagian era kejayaan perdagangan Jalur Rempah dunia serta berpartisipasi dalam membangun masa depan negara yang berorientasi kepada pembangunan maritim.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross