Pengujian laboratorium terhadap sample air sungai Surabaya sebagai ilustrasi. (Foto: Ecoton).

Riset Stagnan, Peneliti Indonesia Bekerja Seperti Pegawai Negeri

Publish by Redaksi on 30 December 2022

NEWS, IDenesia.id - Banyak kampus memiliki gedung bagus, kata staf khusus Menteri Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro, tetapi tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk kegiatan riset.

“Kita punya gedung-gedung laboratorium yang bagus-bagus. Tapi di mana penelitinya? Enggak ada, karena penelitinya, seperti pegawai negeri, jam 2 siang pulang,” ujarnya dalam sebuah diskusi terkait riset di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu (28/12).

Laksono membandingkan kondisi budaya riset di luar negeri yang pernah dilakoninya, di mana laboratorium perguruan tinggi buka 24 jam sehari. Para peneliti juga disediakan tempat tinggal tidak jauh dari kampus, sehingga mereka bisa bekerja setiap waktu, bahkan pada pukul 02.00 dini hari.

Butuh Perubahan Kebijakan

Namun cara kerja peneliti bukan satu-satunya persoalan. Di bidang kesehatan yang digeluti Laksono, Indonesia membutuhkan riset yang lebih banyak. Melihat situasi yang ada saat ini, menurutnya butuh perubahan kebijakan untuk menciptakan kondisi yang lebih berpihak pada peneliti di perguruan tinggi.

Riset kesehatan membutuhkan biaya sangat tinggi. Namun, selalu ada kemungkinan bahwa upaya itu berujung kegagalan. Sampai saat ini, belum ada komitmen bahwa pendanaan pemerintah yang tinggi memberikan toleransi terhadap potensi kegagalan riset itu. Dengan catatan, kata Laksono, kegagalan riset itu dapat dipertanggungjawabkan.

“Semua penelitian untuk produksi, apalagi obat, itu mungkin 95 persen lebih gagal. Nah, kita sebagai bangsa, berani enggak untuk menangung kegagalan-kegagalan itu. Di industri farmasi, mereka take risk, tetapi harga jual produk farmasi tinggi banget,” kata Laksono.

Di Indonesia, berkat dukungan pendanaan dari pemerintah yang mensyaratkan keberhasilan riset, maka peneliti menjadikan penerbitan di jurnal sebagai tujuan riset mereka. Padahal, semestinya hasil riset berlanjut ke produksi, agar lebih bermanfaat bagi masyarakat.

“Riset kita itu harus bikin obat atau alat kesehatan, dan itu bisa gagal, tetapi gagal yang bener. Nah, apakah sistem keuangan kita itu bisa menghargai kegagalan yang benar tadi. Ini pertanyaan menarik,” tegas Laksono.

Dia juga memberi catatan, terkait inovasi yang menjanjikan untuk dikembangkan, diantaranya adalah memiliki prospek bisnis yang logis. Riset bisa berkembang ketika hasilnya dibutuhkan masyarakat, dan ada pihak yang memproduksi serta memasarkannya dalam skala luas. Investasi adalah bisnis, ujar Laksono, tetapi inovasi adalah bagian dari bisnis juga.

Dia memberi contoh, pemerintah Amerika Serikat yang memberikan dukungan sangat besar bagi kegiatan riset di perguruan tinggi. Dukungan itu diberikan dalam bentuk dana riset, dana pengembangan, dan bahkan jaminan pembelian produk hasil riset oleh pemerintah federal. Laksono memberi contoh kasus pengembangan vaksin COVID-19 untuk menggambarkan bagaimana dukungan pemerintah terhadap kegiatan riset di Amerika Serikat.

“Ada intervensi yang sangat kuat dari pemerintah Amerika Serikat, yang selama bertahun-tahun memberikan dana untuk research and development, bahkan memberikan subsidi untuk manufaktur, dan menjamin pasar sekaligus, untuk dibeli,” ujar Laksono.

Bentuk dukungan semacam inilah yang mampu membuat riset dan industri bergerak. Upaya hilirisasi hasil riset perguruan tinggi, tanpa jaminan pasar, menurut Laksono sangat sulit untuk bisa berkembang. Upaya ini, adalah sesuatu yang terintegrasi, tegasnya.

Salah satu yang harus diperbaiki, menurut Laksono, adalah skema dukungan pendanaan riset. Selama ini, dukungan dana pemerintah diberikan dalam jagnka pendek, satu atau dua tahun. Akibatnya, riset berhenti pada karya tulis di jurnal saja.

“Untuk produk-produk yang betul-betul strategis bagi bangsa, kita siap enggak untuk pendanaan sepuluh tahun, dan kalau gagal pun dimaafkan. Kalau itu gagal yang bener. Kalau kita hanya mempunyai kompetisi yang setahun-dua tahun selesai, itu enggak bisa,” kata Laksono.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) telah menyediakan dana hingga Rp1 triliun per tahun untuk mendorong riset bersama perguruan tinggi dan dunia industri. Pada 2021, Kemendikbudristek menginisiasi berdirinya Kedaireka, yang menghubungkan dunia perguruan tinggi dan industri dalam kegiatan riset. Skema ini mendorong perguruan tinggi bekerja sama dengan mitra menyusun proposal riset dan memproduksi dalam skala industri jika memungkinkan. Riset diharapkan tidak sekadar berhenti sebagai jurnal dan bahan pustaka.

Kehadiran Kedaireka memperoleh sambutan cukup baik dari berbagai pihak, terlihat dari jumlah proposal riset yang dikirimkan ke kementerian ini, seperti disampaikan Prof Nizam, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kemendikbudristek.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross