Ilustrasi (Foto: AFP/MARCEL MOCHET).

Sebelum Teknologi Secanggih Sekarang, Ini Hal Unik Dilakukan Fotografer Zaman Dahulu

Publish by Redaksi on 4 July 2023

NEWS, IDenesia.id - Kamera sekarang menjadi benda yang seolah wajib ada dalam acara-acara penting. Pasalnya kamera bisa digunakan untuk memotret dan mengabadikan acara yang bersangkutan. Foto yang tercipta nantinya bisa dijadikan bukti sekaligus kenng-kenangan.

Teknologi kamera sendiri diketahui sudah ada sejak tahun 1800-an. Meskipun teknologi kamera pada waktu itu masih sangat terbatas, hal tersebut tidak lantas menjadi halangan bagi orang-orang pada masa itu untuk menciptakan foto sebagus mungkin. Bak peribahasa "tak ada rotan, akar pun jadi". Dirangkum IDenesia.id dari berbagai sumber, Selasa 4 Juli 2023.

Tak Ada Photoshop, Pensil Pun Jadi
Siapapun tentu ingin supaya dirinya tampil semenarik mungkin di dalam foto. Tidak jarang saat seseorang sudah dipotret, orang tersebut terlihat kurang menarik saat berada dalam foto.

Jika masalah tersebut sampai terjadi, aplikasi pengedit foto jadi solusinya. Dengan memakai aplikasi tersebut, paras seseorang bisa diedit sedemikian rupa supaya nampak lebih menarik di dalam foto. Dari sekian banyak aplikasi pengedit foto yang sudah tersedia, Photoshop adalah yang paling terkenal karena penggunaannya sudah sedemikian luas.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang di masa lampau? Apakah mereka lantad tidak bisa mengedit foto sama sekali karena tidak memiliki aplikasi macam Photoshop?

Usut punya usut, ternyata manusia di masa lampau sudah memiliki teknik manipulasi fotonya sendiri. Mereka menggunakan pensil untuk memodifikasi kaca yang hendak digunakan untuk mencetak foto.

Sebagai contoh, jika juru cetak foto ingin membuat bagian tertentu pada foto menjadi lebih terang, ia akan mengarsir bagian tersebut dengan pensil tumpul. Namun jika ia ingin membuat bagian tertentu pada foto menjadi lebih gelap dan tegas, ia akan mengarsirnya dengan pensil runcing.

Mayat Kerap Didandani untuk Dipotret sebagai Pengganti Orang Hidup
Mayat adalah sebutan untuk jasad manusia yang sudah meninggal dunia. Sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah dan keluarga yang ditinggalkannya, orang-orang selalu dianjurkan untuk memperlakukan mayat dengan layak.

Namun di masa lampau, mayat ternyata pernah menjadi sasaran favorit kalangan fotografer untuk dipotret. Dalam ranah fotografi, bidang fotografi yang fokusnya memotret mayat dikenal dengan istilah fotografi postmortem. Fotografi postmortem pernah dipraktikkan secara luas pada abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20.

Meskipun terlihat menyeramkan dan tidak normal, ada alasan tersendiri mengapa kalangan fotografer pada masa itu sempat "tergila-gila" pada mayat.

Tidak seperti kamera di masa kini yang bisa memotret gambar hanya dalam kurun waktu sepersekian detik, kamera pada masa itu memerlukan waktu lama hingga siap mengambil gambar. Akibatnya, cukup sulit memotret makhluk hidup pada masa itu karena tidak jarang mereka membuat gerakan tanpa sadar saat sedang dipotret.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejumlah kalangan fotografer pun memutuskan untuk fokus memotret mayat karena mayat tidak akan bergerak saat dipotret.

Alasan lain kenapa fotografi postmortem sempat populer adalah karena tingkat kematian manusia pada waktu itu masih cukup tinggi, khususnya di kalangan anak-anak yang notabene daya tahan tubuhnya masih lemah. Itulah sebabnya foto-foto yang diambil oleh fotografer postmortem biasanya adalah foto anak-anak. Biasanya mayat-mayat tersebut dipotret saat baru saja meninggal dunia di rumah atau panti asuhan.

Namun demi mendapatkan hasil jepretan yang sempurna, fotografer postmortem profesional tidak segan-segan untuk bertindak lebih jauh. Ia bakal mendadani mayatnya dengan pakaian lengkap dan bahkan mata palsu supaya mayat yang dipotret nampak masih hidup dan sedang melihat ke arah kamera. Jika diperlukan, mayat tersebut juga akan ditempatkan dalam posisi berdiri dengan memakai alat bantu sebelum kemudian dipotret.

Popularitas fotografi postmortem lama kelamaan memudar dengan sendirinya. Pasalnya kian majunya teknologi kedokteran menyebabkan kasus kematian dini menjadi lebih mudah dihindari. Teknologi kamera yang semakin maju dan praktis juga menyebabkan orang-orang bisa mengambil foto orang lain dengan mudah dalam aneka pose - dalam kondisi masih hidup tentu saja.

Sebelum Ada Drone, Merpati Digunakan untuk Mengambil Foto Udara

Sejak Wright Bersaudara menciptakan pesawat terbang, teknologi penerbangan sudah meningkat jauh. Selain bisa digunakan untuk keperluan transportasi, manusia juga menggunakan pesawat untuk mengambil foto udara dari ketinggian.

Belakangan, manusia juga menggunakan drone yang dipasangi kamera untuk keperluan serupa. Dibandingkan dengan pesawat, kelebihan utama drone adalah drone memiliki harga yang jauh lebih murah dan ukuran yang lebih ringkas.

Lantas bagaimana orang zaman dahulu mengambil foto dari ketinggian? Padahal pada masa itu drone maupun pesawat masih belum ditemukan.

Hanya karena teknologi pada masa itu masih belum memadai, bukan berarti orang pada masa itu lantas pasrah begitu saja. Supaya bisa mengambil foto dari ketinggian, mereka pun memanfaatkan bantuan hewan, tepatnya burung merpati.

Selain burung merpati, manusia pada masa itu juga sudah menggunakan balon dan layangan untuk mengambil foto dari ketinggian. Namun karena kedua benda tadi gerakannya terlalu lambat, burung merpati pun dipilih sebagai alternatif.

Teknik pengambilan foto memakai merpati pada dasarnya cukup sederhana. Tubuh merpati dipasangi dengan kamera mini, lalu burung tersebut diminta terbang di atas lokasi yang hendak diotret.

Supaya kameranya mengambil foto pada momen yang tepat, kamera tersebut dipasangi dengan timer. Teknik pengambilan foto memakai merpati mulai dilakukan sejak tahun 1907. Namun sejak masa Perang Dunia Pertama, teknik ini ditinggalkan dan digantikan dengan metode pengambilan foto memakai pesawat.

Banyak manusia yang meyakini bahwa selalu ada makhluk halus dan tak kasat mata yang tinggal di antara manusia. Mereka kadang-kadang menampakkan diri saat seseorang menggunakan kameranya untuk memotret suatu tempat yang kelihatannya kosong. Namun saat fotonya dilihat, ternyata ada penampakan makhluk misterius yang muncul di fotonya.

Jika fenomena macam itu sampai terjadi, maka muncullah keyakinan kalau tempat di mana foto tersebut diambil merupakan tempat yang angker dan aslinya dihuni oleh makhluk halus.

Namun tidak jarang foto yang terlihat menunjukkan penampakan aslinya adalah hoax karena sosok penampakannya ternyata merupakan hasil rekayasa.

Di era digital seperti sekarang, merekayasa foto penampakan sekarang menjadi hal yang amat mudah dilakukan selama orang tersebut memiliki komputer dan program yang diperlukan.

Namum ternyata praktik membuat foto rekayasa penampakan ternyata bukan hanya dilakukan di era digital seperti sekarang. Saat teknologi kamera masih belum begitu maju, praktik mengedit foto supaya menampilkan sosok penampakan hantu ternyata sudah dikenal.

Tahun 1861, fotografer William H. Mumler menunjukkan bagaimana cara membuat penampakan dalam foto dengan bermodalkan teknologi pada masa itu. Ia membuat sosok penampakan dengan cara mengkombinasikan kaca pencetak foto yang menampilkan sosok menyerupai hantu dengan kaca pencetak foto yang masih baru.

Dengan bermodalkan teknik rahasia ini, Mumler kemudian membuat aneka macam foto penampakan hantu. Ia pun lantas kebanjiran orderan dari mereka yang berharap kalau Mumler bisa memotretkan penampakan dari arwah orang-orang dekat mereka yang baru saja meninggal dunia.

Lama kelamaan, trik rahasia yang digunakan oleh Mumler akhirnya terbongkar. Mumler pun kemudian dilaporkan ke pengadilan. Kendati hakim akhirnya tidak menjatuhkan hukuman kepada Mumler, reputasi Mumler sudah terlanjur hancur. Ia sejak itu dicap sebagai fotografer penipu.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross