Bataljon V KNIL "Andjing NICA" dalam suatu parade militer.

Sejarah Hari Ini, 10 Maret;  Serangan 10 Maret 1949 Dimana Belanda Gagal Membalas Kaum Republik

Publish by Redaksi on 10 March 2023

NEWS, IDenesia.id - Setelah Serangan Umum 1 Maret 1949, Belanda menghimpun informasi intelijen mengenai kekuatan pasukan Republik. Seturut laporan yang disusun Netherland Forces Intelligence Services (NEFIS), Belanda menduga bahwa pasukan Jenderal Soedirman masih terkonsentrasi di sekitar Yogyakarta. Namun, NEFIS sendiri seringkali terjebak pada informasi yang keliru.

Melalui radio panggil PC-2 yang ditempatkan di Playen, Gunungkidul, Satuan Perhubungan AURI menyambungsiarkan berita Serangan Umum ke PDRI yang berbasis di Halaban, Bukittinggi. Berita itu lantas diteruskan ke Aceh dan Yangon (Myanmar). Dari Burma, berita itu kemudian tersiar ke All India Radio, New Delhi, dan selanjutnya diteruskan ke Markas PBB di New York.

Kemudian pada tanggal 10 Maret 1949, Kabul Waluyo yang saat itu berencana pergi ke kebunnya yang terletak di sekitar Landasan Udara Gading. Belum sempat dia melangkahkan kaki, kamitua (pamong desa) memukul kentongan tanda bahaya.

Suara kentongan dan teriakan sang kamitua membuat penduduk desa berhamburan keluar rumah mencari tempat perlindungan. Mereka menghampiri lubang-lubang perlindungan (semacam bungker) yang telah digali semenjak masa Pendudukan Jepang. Itulah sarana perlindungan terbaik yang tersedia saat itu.

Kabul Waluyo mengingat bahwa pesawat-pesawat Belanda melakukan penembakan dan pemboman dari udara dengan sasaran utama Landasan Udara Gading. Sejalan dengan memori Kabul Waluyo, arsip militer Belanda menyebutkan bahwa Koninklijke Lucthmacht (KL—Angkatan Udara Kerajaan Belanda) mengerahkan sedikitnya lima pesawat P40-D Kittyhawk dengan misi melakukan air shelling (penembakan dari udara).

Penembakan ini bertujuan mengonsinyasi wilayah pendaratan bagi pasukan penerjun payung Depot Speciale Troepen (DST) Belanda. Menurut prakiraan NEFIS, Landasan Udara Gading juga disinyalir merupakan basis kekuatan AURI. Namun setelah pendaratan, pasukan Belanda tidak menemukan satu pun pesawat atau personel AURI di sana.

Dalam serangan itu, Belanda mengerahkan sedikitnya 300 pasukan DST serta memobilisasi sekurangnya tiga batalion Angkatan Darat Kerajaan Belanda dari Yogyakarta ke Wonosari. Gelar pasukan yang begitu besar membuat operasi ini merupakan operasi militer terbesar kedua setelah Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.

Dalam Beyond The Pale: Dutch Extreme Violence in the Indonesian War of Independence 1945-1949 (2022), Harmanny menggambarkan bahwa siasat yang dilakukan Belanda di Yogyakarta itu merupakan bentuk keputusasaan di pengujung usahanya mengembalikan hegemoni di Indonesia. Masih menurut Harmanny, penggempuran kekuatan Republik dengan penggunaan artileri dan pesawat udara itu memang lebih destruktif dibandingkan kekuatan infanteri.

Namun, sasarannya secara objektif menjadi tak terkontrol karena bisa menyasar nonkombatan seperti rakyat sipil. Hal ini jelas menjadi catatan serius yang menyudutkan Belanda di mata internasional. Terlebih, Indonesia kini juga melakukan manuver diplomasi yang masif.

Masih menurut Harmanny, penggempuran kekuatan Republik dengan penggunaan artileri dan pesawat udara itu memang lebih destruktif dibandingkan kekuatan infanteri. Namun, sasarannya secara objektif menjadi tak terkontrol karena bisa menyasar nonkombatan seperti rakyat sipil. Hal ini jelas menjadi catatan serius yang menyudutkan Belanda di mata internasional. Terlebih, Indonesia kini juga melakukan manuver diplomasi yang masif. Belanda menilai penerjunan pasukan besar-besaran pada 10 Maret 1949 itu efektif menggulung sisa-sisa kekuatan Republik. Misi utama Belanda melancarkan serangan ke Patuk dan Wonosari adalah menangkap Jenderal Soedirman beserta petinggi TNI dan menghancurkan radio pemancar PHB AURI di Playen. Namun, kedua misi ini nyatanya tidak berjalan sama sekali.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross