Tragedi Santa Cruz, Sejarah Kelam Timor Leste Selama Pendudukan Indonesia. Genosida Timor Timur.

Sejarah Hari Ini, 12 November; Tragedi Santa Crus, Sebanyak 271 Mahasiswa Ditembak Mati

Publish by Redaksi on 12 November 2022

NEWS, IDenesia.id – Pada 12 November dalam sejarah mencatat sebuah peristiwa berdarah terjadi yang dikenal  Pembantaian Santa Cruz. Peristiwa ini juga dikenal dengan Pembantaian Dili yang merupakan peristiwa penembakan terhadap kurang lebih 250 pengunjuk rasa pro-kemerdekaan Timor Timur di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada tanggal 12 November 1991, di tengah pendudukan Indonesia di Timor Leste. Peristiwa ini diakui sebagai bagian dari genosida Timor Timur.

Pada bulan Oktober 1991, sebuah delegasi yang terdiri dari anggota parlemen Portugal dan 12 orang wartawan dijadwalkan akan mengunjungi Timor Timur. Para mahasiswa telah bersiap-siap menyambut kedatangan delegasi ini.

Namun rencana ini dibatalkan setelah pemerintah Indonesia mengajukan keberatan atas rencana kehadiran Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Pembatalan ini menyebabkan kekecewaan mahasiswa pro-kemerdekaan yang berusaha mengangkat isu-isu perjuangan di Timor Timur. Kekecewaan ini menyebabkan situasi memanas antara pihak pemerintah Indonesia dan para mahasiswa.

Puncaknya pada tanggal 28 Oktober, pecah konfrontasi antara aktivis pro-integrasi dan kelompok pro-kemerdekaan yang pada saat itu tengah melakukan pertemuan di gereja Motael Dili. Pada akhirnya, Afonso Henriques dari kelompok pro-integrasi tewas dalam perkelahian dan seorang aktivis pro-kemerdekaan, Sebastião Gomes yang ditembak mati oleh tentara Indonesia.

Saat tentara Indonesia berhadap-hadapan dengan pengunjuk rasa, beberapa demonstran dan seorang mayor, Geerhan Lantara, ditusuk. Stahl mengklaim Lantara menyerang pengunjuk rasa, termasuk seorang anak perempuan yang mengibarkan bendera Timor Leste. Aktivis FRETILIN, Constâncio Pinto, mengatakan beberapa orang mengaku dipukuli oleh tentara dan polisi Indonesia.

Saat iring-iringan warga mulai memasuki areal TPU, beberapa orang terus berunjuk rasa di depan pagar dan 200 tentara dikerahkan sambil menenteng senjata ke arah kerumunan. Di dalam TPU Seroja, tentara melepaskan tembakan ke arah ratusan warga sipil tak bersenjata. Sedikitnya 250 warga Timor Timur tewas dalam peristiwa ini. Salah satu korban jiwa adalah warga negara Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang mahasiswa ilmu politik dan aktivis hak asasi manusia yang kuliah di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn, dan direkam oleh Max Stahl yang diam-diam membuat liputan untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Saat Stahl sedang merekam, Goodman dan Nairn mencoba "melindungi warga Timor Timor" dengan berdiri di antara mereka dan tentara Indonesia.

Beberapa tentara mulai memukuli Goodman. Nairn juga dipukuli dengan senapan saat mencoba melindungi Goodman; tengkoraknya retak. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada Saskia Kouwenberg, wartawan Belanda, untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin.

Video ini ditayangkan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor di ITV di Britania pada Januari 1992. Videonya juga tayang di beberapa dokumenter terkini. Rekaman Stahl, ditambah kesaksian Nairn, Goodman, dan rekan-rekan sejawatnya, memicu respons keras di seluruh dunia. Program In Cold Blood: The Massacre of East Timor mendapat anugerah Amnesty International UK Media Awards pada tahun 1992.

Pemerintah Indonesia mengklaim insiden ini reaksi spontan atas kekerasan oleh pengunjuk rasa atau "kesalahpahaman" semata. Sejumlah pihak membantahnya dengan dua alasan utama: tentara Indonesia berkali-kali terbukti melakukan kekerasan massal di berbagai tempat seperti Quelicai, Lacluta, dan Kraras, lalu politikus dan perwira Indonesia selalu mengeluarkan pernyataan yang membenarkan tindak kekerasan ABRI.

Dua hari setelah peristiwa ini, Try Sutrisno, Panglima ABRI, mengatakan, "Tentara tidak bisa diremehkan. Pada akhirnya kami harus menembak mereka. Perusuh seperti ini harus ditembak, dan mereka pasti kami tembak."

 

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross