Mengenang Kerusuhan Sampit, Pertikaian Suku Dayak dan Madura yang terjadi 18 Februari 2001. (Foto : selasar.com).

Sejarah Hari Ini, 18 Februari; Kerusuhan Sampit, Pertikaian Suku Dayak dan Madura Tahun 2001

Publish by Redaksi on 18 February 2023

NEWS, IDenesia.id - Di malam hari, di Kota Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, tepatnya pada Minggu dini hari tanggal 18 Februari 2001 tepat pukul 01.00 WIB, sekelompok warga Dayak menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo yang berada di Jalan Padat Karya. Setelah kejadian tersebut, empat orang dinyatakan meninggal dunia serta 1 orang luka berat, dan semuanya warga Madura.

Serangan yang diduga aksi balas dendam itu mendapat perlawanan. Pagi harinya, sekitar pukul 08.00 WIB, sejumlah warga Madura mendatangi rumah seorang Dayak bernama Timil yang diduga menyembunyikan salah satu pelaku penyerangan.

Saat itu Timil berhasil diamankan polisi, tetapi warga Madura yang tak puas langsung membakar rumahnya. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat Timil dan menewaskan 3 penghuninya.

Dilansir dari Liputan6.com, tak selang berapa lama dari kejadian tersebut, tepatnya pukul 12.00 WIB, pasukan Brimob Polda Kalimantan Selatan sebanyak 103 personel dengan kendali BKO Polda Kalteng tiba di Sampit. Puluhan tersangka berikut barang bukti senjata tajam dibawa ke Mapolda Kalteng di Palangka Raya. Namun, situasi tak kunjung kondusif.

Hingga pada keesokan harinya, tepatnya pada Senin, 19 Februari, banyak ditemukan sejumlah jasad tergeletak di berbagai sudut kota Sampit. Demikian pula dengan aksi penyerangan rumah serta pembakaran kendaraan. Kondisi ini membuat Wakil Gubernur Kalteng mengirimkan bantuan 276 personel TNI dari Yonif 631/ATG ke Sampit pada malam itu juga.

Dilansir dari Liputan6.com, dengan adanya konflik tersebut, pada 18 dan 19 Februari 2001, Kota Sampit sepenuhnya dikuasai warga dari Madura. Selama dua hari sejak penyerangan rumah Matayo, warga Madura berhasil bertahan, bahkan berani melakukan sweeping terhadap permukiman-permukiman warga Dayak.

Namun, kondisi ini berbalik pada tanggal 20 Febuari 2001, ketika sejumlah besar warga Dayak dari luar kota berdatangaan ke Sampit. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.

Ratusan warga Dayak itu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya yang merupakan pusat permukiman warga Madura. Mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkonsentrasi di berbagai sudut jalan Sampit.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan warga Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak dikabarkan lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Bahkan, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura.

Berada di atas angin, warga Dayak melebarkan serangan ke berbagai kawasan di Kotawaringin Timur. Warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah, kecuali Pangkalan Bun yang tetap aman karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di tempat ini.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa setidaknya konflik antar etnis ini telah menyebabkan korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, ada 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak.

Sementara menurut data dari Polres Kotawaringin Timur, jumlah korban meninggal dari kedua belah pihak kerusuhan Sampit ada 315 orang. Jumlah rumah yang dibakar 583 dan dirusak 200. Sementara 8 mobil dan 48 sepeda motor dirusak.

Tahun 2000, tercatat warga transmigran membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak dikabarkan merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif.

Ditambah lagi, aturan-aturan baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, pertambangan dan perkebunan.

Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi pada waktu itu.

Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala mereka terlibat keributan, dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah, amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, seperti amarah yang meletup di Sampit bertahun-tahun silam.

Namun, berbeda dibandingkan dengan sekarang ini karena Sampit kini telah dikenal sebagai kota yang damai, tentram, sejahtera serta kesehatan penduduknya yang rukun. Sampit telah menjadi tempat tinggal yang begitu nyaman bagi warganya dan telah belajar dari kejadian masa lalu, bahwa kebencian antar warga sebangsa serta setanah air hanya akan memunculkan pihak yang kalah serta menciptakan pertikaian yang tak berujung.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross