Warga Palestina membawa barang-barang mereka di atas kepala saat melarikan diri dari sebuah desa di Galilea sekitar lima bulan setelah pembentukan negara Israel pada tahun 1948 [Foto: Reuters]

Sejarah Perang Israel - Palestina: Kolonialisme dan Konflik Terpanjang di Dunia

Publish by Redaksi on 10 October 2023

NEWS, IDenesia.id - Konflik Israel - Palestina telah merenggut puluhan ribu nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi, berakar pada tindakan kolonialisme yang dilakukan lebih dari seabad yang lalu.

Sejak serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh kelompok bersenjata Palestina, Hamas, Sabtu, 7 Oktober 2023 lalu, mata dunia kembali terfokus pada apa yang akan terjadi selanjutnya.

Terbaru pada hari Senin, Israel mengumumkan "blokade total" Jalur Gaza, menghentikan pasokan makanan, bahan bakar, dan komoditas penting lainnya ke daerah kekuasaan yang sudah terkepung itu, sebuah tindakan yang di bawah hukum internasional dianggap sebagai kejahatan perang, sebagaimana dilansir IDenesia dari Al Jazeera, Selasa, 10 Oktober 2023.

Apa yang akan terjadi dalam beberapa hari dan minggu ke depan tentunya berakar pada sejarah. Berikut uraian mengenai salah satu konflik terpanjang di dunia tersebut.

Isi Deklarasi Balfour yang ditulis oleh Arthur Balfour pada 2 November 1917. (Foto: Wikimedia Commons)

Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan para pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit dipecahkan, rumit, dan menemui jalan buntu. Padahal, konflik ini diawali dengan surat singkat berisi 67 kata dari Arthur Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris, pada tanggal 2 November 1917.

Surat itu berkomitmen kepada pemerintah Inggris untuk "mendirikan sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini". Surat tersebut dikenal sebagai Deklarasi Balfour.

Tahun 1923 hingga 1948, terbentuklah Mandat Inggris, yang memfasilitasi migrasi besar-besaran kaum Yahudi, kebanyakan merupakan pendatang yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa, ke Palestina. Warga Palestina pun mulai merasa khawatir dengan perubahan demografi dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada para pemukim Yahudi.

Ketegangan yang meningkat akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Pada bulan April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk menyerukan kepada warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak, dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan peningkatan migrasi Yahudi ke tanah mereka. Protes tersebut direspon secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah-rumah warga Palestina.

Perlawanan warga Palestina tidak berhenti, fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir tahun 1937, dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina yang menargetkan pasukan Inggris. Paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan sekitar 30 ribu tentara di Palestina, yang melakukan pengeboman terhadap desa-desa, penghancuran tempat tinggal, pemberlakuan jam malam, hingga penahanan administratif dan pembunuhan tanpa proses pengadilan.

 

Pasukan Inggris di Palestina, 1930 (Foto: Keystone-France/Gamma-Keystone via Getty Images)

Inggris juga bekerjasama dengan komunitas pemukim Yahudi dengan membentuk kelompok-kelompok bersenjata, mengimpor dan mendirikan pabrik-pabrik senjata, serta mengembangkan paramiliter Yahudi, Haganah, yang kemudian menjadi inti dari tentara Israel.

Dalam 3 tahun pemberontakan, 5 ribu warga Palestina terbunuh, 15 hingga 20 ribu terluka, dan 5 ribu warga dipenjara.

Tahun 1947, populasi kaum Yahudi telah mencapai 33% dari seluruh wilayah Palestina meskipun hanya memiliki sekitar 6% tanah. PBB menyerukan pembagian wilayah Palestina menjadi dua bagian; negara Arab dan Yahudi, yang tentu saja ditolak oleh Palestina, karena harus memberikan 56% wilayahnya kepada Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pantai yang subur.

Tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil, dan kota besar di Palestina dihancurkan. Peristiwa ini disebut sebagai Nakba, atau “malapetaka” dalam bahasa Arab. Diperkirakan 15 ribu warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian. Dalam peristiwa ini, gerakan zionis merebut hingga 78% wilayah bersejarah Palestina, dan memaksa 750 ribu warganya keluar dari tempat tinggal mereka. 22% sisa wilayah milik Palestina dibagi menjadi Tepi Barat dan Jalur Gaza yang saat ini kita kenal.

Israel mengumumkan pendiriannya pada tanggal 15 Mei 1948. Keesokan harinya, perang Arab-Israel yang pertama meletus. Perang baru berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.

Sedikitnya 150.000 orang Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol secara ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel. Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat.

 

Eksodus Palestina 1948, yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai Nakba (bahasa Arab: an-Nakbah, artinya 'malapetaka'), terjadi ketika lebih dari 700.000 orang Arab Palestina melarikan diri atau diusir dari rumah mereka. (Foto: Pictures From History/Universal Images Group via Getty Images)

Pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel menduduki seluruh wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan di Suriah, dan Semenanjung Sinai di Mesir dalam Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab. Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan pemindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti "kemunduran" dalam bahasa Arab.

Hal ini disusul pada pembentukan organisasi sayap kiri PFLP pada bulan Desember 1967, dan selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok-kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.

Pembangunan pemukiman di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pun dimulai dengan pemberlakukan sistem diskriminatif di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel, sementara warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.

Intifada Palestina pertama meletus di Jalur Gaza pada bulan Desember 1987 setelah empat orang Palestina terbunuh ketika sebuah truk Israel menabrak dua mobil van yang mengangkut para pekerja Palestina. Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat disambut dengan aksi para pemuda Palestina yang melempari tank-tank tentara Israel dengan batu.

Tanggapan keras tentara Israel terangkum dalam kebijakan "Break Their Bones" yang dianjurkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Kebijakan ini mencakup pembunuhan tanpa pengadilan, penutupan universitas, deportasi para aktivis, dan penghancuran rumah-rumah.

Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas dan mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut. Intifada pertama berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan kekuasaan terbatas di wilayah-wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki.

Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, memutus interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah, menyusul kepada peristiwa Intifada kedua pada tahun 2000, ketika pemimpin oposisi Partai Likud, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan yang dikerahkan di dalam dan di sekitar Kota Tua Yerusalem.

 

Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), melambaikan tangan kepada kerumunan orang di kamp Jabaliya, tempat dimulainya Intifada. (Foto: Peter Turnley/Corbis/VCG via Getty Images)

Intifada kedua berakhir setahun setelah pimpinan PLO, Yasser Arafat, meninggal dunia pada 2004. Permukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah pendudukan tersebut. Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara pada pemilu untuk pertama kalinya, yang dimenangkan oleh Hamas, dan membuat meletusnya perang saudara antara pendukung Hamas dan Fatah selama berbulan-bulan.

Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara, dan laut di Jalur Gaza, dengan menuduh Hamas sebagai "teroris". Sejak saat itu, Israel telah melancarkan empat serangan militer yang berkepanjangan ke Gaza: pada tahun 2008, 2012, 2014, dan 2021.

Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur. Selama serangan tersebut, yang disebut Operation Protective Edge oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross