Ilustrasi Pasukan Belanda di Gowa. (Foto: Good News From Indonesia/Commons Wikimedia).

Sikap Bengis Kolonial, Picu Kemurkaan Raja I Makkulau Daeng Serang Hingga Konflik Pecah di Gowa

Publish by Redaksi on 1 September 2023

NEWS, IDenesia.id - Selalu ada dinamika yang pelik dan kompleks dalam setiap sejarah kerajaan nusantara zaman dulu. Mereka rela berjuang mempertahankan harkat dan martabat demi menjaga nama baik, adat istiadat wilayah dari kelompok pengusik. Khususnya para kolonial yang dulu pernah berkuasa di wilayah nusantara. Termasuk di kerjaaan Gowa.

Persoalan itulah yang memicu penerus Raja Gowa murka pada penjajah. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang, adalah keturunan dari Raja Gowa XXXIII (1893-1895) I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris, melalui pernikahannya dengan We Tenri Padang Sultanah Aisyah Arung Barru. We Tenri Padang adalah saudara kandung dari Raja Bone XXIX (1860-1871) La Singkeru Rukka Mattinroe ri Topaccing. 

Dan cucu dari Raja Bone XXIV (1812-1823), yang dikenal sebagai La Mappatunru Sultan Muhammad Ismail Matinroe ri Lalebbata. Di sisi lain, I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka adalah anak dari Raja Gowa XXXII (1826-1893) I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid, dari pernikahannya dengan I Seno Karaeng Lakiung.

I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang adalah seorang bangsawan terkemuka (Anak Pattola-Anak Ti'no), yang tidak hanya memiliki hak waris atas tahta Kerajaan Gowa, tetapi juga di Kerajaan Bone dan Barru. Setelah Raja Gowa XXXIII, I Mallingkaang Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Muhammad Idris, meninggal pada tanggal 13 Mei 1895, putranya I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang, kemudian digelari sebagai Sultan Husain (1895-1905). 

Pada masa inilah, Kerajaan Gowa terlibat dalam konflik bersenjata dengan pasukan militer Belanda pada tahun 1905. Dalam perang tersebut, Raja Gowa I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang memainkan peran yang sangat penting. Ia bukan hanya menjadi tokoh utama atau kunci dalam peristiwa tersebut, melainkan juga memimpin rakyatnya secara langsung dalam perlawanan terhadap pemerintahan Hindia Belanda.

Perlawanan I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang terhadap pemerintahan Hindia Belanda dipicu oleh akumulasi pertentangan antara pemerintah Kerajaan Gowa dan pihak kolonial. Pertentangan ini telah berakar sejak abad XVII dan kembali mencuat setelah kekalahan hebat Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar pada tahun 1667-1669. 

Ketegangan semakin meningkat ketika pemerintah Hindia Belanda mengajukan tuntutan dan mengenai Perjanjian Bongaya yang direvisi kepada Kerajaan Gowa pada tahun 1895. Ketegangan antara kedua pihak semakin terlihat ketika pemerintah Hindia Belanda memperlakukan para pembesar Kerajaan Gowa secara tidak hormat saat upacara pemakaman Raja Sidenreng menjelang akhir tahun 1904. 

Sejak saat itu, Raja Gowa I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang bersama para pembesar Kerajaan Gowa semakin menunjukkan sikap permusuhan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Cerita ini adalah penggalan dari Buku "I MAKKULAU DAENG SERANG KARAENG LEMBANG PARANG" yang menguraikan perlawanan Gowa yang dipimpin oleh Raja Gowa I Makkulau Karaeng Lembang Parang Sultan Husain terhadap Pemerintah Hindia Belanda. 

Perlawanan Gowa ini kemudian terus berkembang menjadi Perang Gowa 1905. Peristiwa ini bukan hanya merupakan perang terbesar yang pernah dilakukan oleh Kerajaan Gowa dalam menghadapi pemerintahan Hindia Belanda, tetapi juga menjadi salah satu rangkaian perjuangan melawan pendudukan militer Belanda di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-20.

Sumber: Buku I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembang Parang - Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.

 

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross