Logo halal MUI (kiri) dan Kemendag.

Stigma Ini Masih Menghambat Pengembangan Wisata Halal di Indonesia

Publish by Redaksi on 16 January 2023

NEWS, IDenesia.id - Pengembangan pariwisata halal (halal tourism) Indonesia merupakan salah satu program prioritas Kementerian Pariwisata (Kemenparekraf) yang sudah dikerjakan beberapa tahun terakhir. Namun, perkembangannya dinilai belum secepat yang diinginkan.

Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center, Prof. Sapta Nirwandar mengungkapkan, salah satu kendala yang membuat pengembangan halal tourism masih terhambat di Indonesia adalah karena stigma kata "halal" dalam dunia tourism.

"Pertama, berkembangnya agak tidak terlalu cepat seperti yang kita bayangkan ya. Karena ada orang yang masih skeptis, masih ragu-ragu tentang itu. Terutama karena kata halal," tutur Sapta Nirwandar, saat ditemui di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (14/1/2023).

Menurut dia, masih banyak orang memahami istilah halal dengan Islamisasi.

Padahal, menurut Sapta, secara umum makna halal tourism sebenarnya lebih mengacu pada kegiatan wisata yang dikhususkan untuk memfasilitasi kebutuhan berwisata umat Islam.

Menurutnya, kehadiran wisata halal ini juga hadirnya sebuah paket perjalanan yang mengacu pada aturan hidup umat Islam, baik di sisi adab mengadakan perjalanan, menentukan tujuan wisata, akomodasi, hingga makanan.

Halal tourism dalam pandangan Sapta merupakan konsep wisata yang menyediakan layanan tambahan yang disediakan untuk meningkatkan kepuasan wisatawan dalam memperoleh, mengonsumsi, atau menggunakan produk halal, baik berupa barang maupun jasa, selama berwisata.

"Padahal halal tourism itu by definition adalah tambahan pelayanan buat pelancong muslim. Kan butuh makan yang halal, butuh mushola, apalagi kalau ada masjid, kan asyik, nah itu, esensinya itu,” ungkap dia.

Prof. Sapta menggarisbawahi bahwa kebutuhan konsumen muslim terhadap wisata halal  secara umum meliputi kemudahan untuk beribadah, mendapatkan makanan halal, mendapatkan nilai tambah dari perjalanan, serta terjaganya dari kemaksiatan dan kemungkaran.

Namun, semua itu juga akan mendatangkan keuntungan bagi para pelaku industri pariwisata.

“Sekarang saya lebih gampangin lagi halal tourism. Mal di Jakarta ada nggak yang nggak punya mushala? Saya misal lagi di mal, tiba-tiba Ashar, kalau ada tempat salat, tinggal ke musola. Kemudian jalan lagi belanja. Coba kalau nggak ada, kan capek mesti pulang karena takut tidak melakukan kewajiban. Pulang ya rugi dia (mal), Potensial buyer pulang?" paparnya.

"Jadi pada prinsipnya itu sudah termasuk pariwisata. The more they stay, the more they spend. Artinya makin lama orang tinggal, kemungkinan orang akan mengeluarkan uang. Jadi itu extended service. Jadi pariwisata halal adalah pelayanan tambahan bagi muslim traveler," sambungnya.

Mantan Wakil Menteri Pariwisata RI ini juga mengakui masih ada masyarakat yang keliru paham tentang wisata halal. Mereka khawatir wisata halal akan memberangus kearifan lokal.

Karena itu, menurutnya, keliru paham tentang wisata halal ini harus diluruskan. Menurutnya, wisata syariah atau wisata halal bukanlah upaya Islamisasi wisata sehingga semua hal dalam lingkungan wisata tersebut disesuaikan dengan nilai-nilai syariah.

"Cuma kata-kata halal itu orang tuh takut dikonotasikan jadi versinya. Masih ada yang ragu-ragu bahwa halal tourism itu membahayakan, akhirnya ada yang bilang oke kalau begitu diganti namanya jadi moslem friendly tourism. Jadi definisi

wisata halal itu belum friendly," pungkasnya.

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross