Teladan Sayyidina Umar bin Khattab kepada Rakyatnya

Publish by Redaksi on 13 January 2024

NEWS, IDenesia.id - Adalah Sayyidina Umar bin Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Rasulullah wafat ini merupakan sosok pemimpin yang sangat adil. 

Baginya menjadi seorang kepala negara bukan sebuah hak istimewa yang membuatnya merasa lebih istimewa dibanding rakyat biasa, tapi ada amanah besar yang menjadi harus diembannya betul-betul.

Salah satu langkah yang Umar lakukan untuk menegakkan keadilan memastikan keadaan rakyatnya baik-baik saja di tengah paceklik yang melanda pada masa pemerintahannya adalah dengan berpatroli dari satu rumah penduduk ke rumah lainnya. Hingga suatu malam, ia berkeliling untuk melakukan pemantauan. Saat itu dia pergi seorang diri.

Zaid bin Aslam yang melihat Sang Khalifah lantas meminta izin untuk mendampinginya. “Izinkan aku untuk mendampingimu, wahai Amirul Mu’minin,” pinta Zaid. “Ya, silakan,” jawab Umar.

Mereka berdua berkeliling kota Madinah dan sekitarnya. Hingga sampai di luar Madinah, tampak dari kejauhan sebuah cahaya. “Sepertinya di sana ada musafir (orang yang sedang melakukan perjalanan),” kata Zaid.

Penasaran, keduanya pun mendekati sumber cahaya itu. Ternyata itu adalah nyala api milik wanita janda tua dengan tiga anak kecil yang semuanya sedang menangis. Wanita itu sedang memasak sesuatu di panci sambil menyumpahi Umar dalam doanya. “Wahai Tuhanku, berilah balasan terhadap Umar. Ia telah berbuat dzalim. Enak saja, kami rakyatnya kelaparan sementara dia hidup serba berkecukupan,” kata si wanita.

Mendengar ucapan wanita itu, Umar pun menghampirinya dan mengucapkan salam. “Bolehkah kami masuk?" kata Umar dengan lembut. “Silakan,” jawab si wanita. Dia tidak tahu bahwa lelaki yang menghampirinya adalah Sang Khalifah. Umar menanyakan tentang kondisinya dan keadaan anak-anaknya.

“Kami datang dari jauh. Aku dan anak-anakku kelaparan. Aku tidak punya apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa,” terang wanita itu dengan nada sendu.

“Lalu, apa yang kau masak di panci ini?”

“Itu hanya air mendidih. Agar anak-anak mengira aku sedang memasak makanan. Dengan begitu mereka akan terhibur.”

Mendengar semua itu, Umar sangat malu, sedih, dan tentu merasa sangat berdosa. Ia pun berpamit untuk pergi dan menuju ke sebuah toko untuk membeli banyak sembako (riwayat lain menyebut ia menuju baitul mal). Ia meminggulnya menuju kediaman wanita tadi.

“Wahai Amirul Mu’minin, turunkan bawaanmu, biar aku saja yang memikulnya,” pinta Zaid.

“Jangan, biar aku saja yang membawanya. Anggap saja aku sedang memikul dosa-dosaku, juga semoga menjadi penghalang dikabulkannya doa wanita itu tadi,” tegas Umar. Sambil memikul sekarung sembako yang begitu berat menuju rumah wanita janda itu, ia terus menangis karena sangat merasa berdosa.

Sesampainya di rumah wanita, Umar memberikan semua sembako itu. “Semoga Allah memberimu balasan terbaik,” kata si wanita.

Tidak hanya sampai di situ. Umar pun ikut memasakkan untuk mereka. Setelah makanan siap, Umar mempersilakan mereka untuk menikmatinya. “Silakan, sekarang kalian semua bisa makan,” kata Umar, senyumnya melebar melihat wajah-wajah mereka yang tidak lagi murung.

“Ibu, mulai sekarang tidak perlu lagi mendoakan keburukan untuk Umar, ya. Mungkin dia belum mendengar kabar ada kalian kelaparan di sini,” kata Umar dengan lembut. (‘Abda Ali Mahna, Tharaiful Khulafa wal Muluk, 2017: 16).

Kisah tanggung jawab Umar ini menjadi tamparan keras bagi sebagian pemimpin negeri ini yang kadang mengabaikan kepentingan rakyat, sementara kebutuhan pribadi menjadi prioritasnya. Apakah dia pernah berpikir di akhirat kelak, bagaimana nanti saat dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT?

(Kisah ini dirilis IDenesia.id dari laman Kemenag, Sabtu 13 Januari 2024)

 

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross