Ilustrasi, Tradisi Rambu Solo di Toraja. (Foto: Kemendikbud.go.id).

Menyingkap Pesan Teologis dalam Ritual Rambu Solo di Toraja

Publish by Redaksi on 19 October 2023

NEWS, IDenesia.id - Keberagaman budaya di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, selalu mengundang decak kagum bagi siapapun yang pertama kali melihat dan merasakannya langsung. Dalam praktiknya kebudayaan dibalut tradisi tentu menyiratkan pesan mendalam tentang entitas suatu kelompok masyarakat. Kondisi inilah yang terus dipertahankan bagi masyarakat di Toraja, Sulsel. 

Seking dikenalnya, daerah ini sangat identik dengan destinasi wisata religi yang berhubungan dengan leluhur. Salah satu tradisi yang terus dipertahankan masyarakat setempat adalah Rambu Solo’ atau ritual penguburan mayat suku Toraja. Tradisi leluhur yang disebut Aluk Todolo atau kepercayaan orang dulu, ini diyakini mengantar roh almarhum menuju puyo (alam baka). 

Jenazah akan disimpan dulu sambil menunggu waktu pelaksanaan ritual tersebut sesuai kesepakatan keluarga besar dan tokoh adat. Dalam hal ini mayat yang disimpan masih dianggap sakit. Dalam pelaksanaan ritual ini ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan. Misalnya pembuatan lantang atau pondok untuk menyambut tamu yang datang untuk berbelasungkawa atau melayat. 

Kemudian ada yang menyiapkan hewan ternak seperti babi dan kerbau sesuai yang telah disepakati. Setelah melewati semua tahap, maka tahap terakhir adalah mengusung almarhum menuju ke liang untuk dikuburkan sambil diarak arak. Rangkaian kegiatan upacara pemakaman Rambu Solo’ sangat rumit serta membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di Toraja orang yang meninggal baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah kepergiannya. 

Pihak keluarga membutuhkan waktu mengumpulkan dana untuk upacara pemakaman. Besaran dana ini terkait dengan tingkat upacara dan jumlah hewan yang akan dikurbankan. Jika sudah disepakati waktu pelaksanaan Rambu Solo’ oleh keluarga inti, maka semua anggota keluarga tanpa terkecuali akan datang ke tongkonan dengan membawa hewan kurban (kerbau dan babi) sebagai ungkapan duka. 

Semakin banyak hewan yang dikurbankan dalam Rambu Solo’ itu menandakan bahwa maka semakin tinggi derajat yang meninggal ketika berada di nirwana. Daging hewan kurban kemudian dibagi-bagikan secara adat kepada keluarga dan masyarakat yang ikut berperan serta dalam Rambu Solo’. 

Menurut Aluk Todolo, mati adalah suatu proses perubahan status semata-mata dari manusia fisik di dunia kepada manusia roh di alam gaib. Rambu Solo’ ibarat “pintu gerbang” bagi jenazah untuk memasuki alam yang baru. Semakin banyak hewan yang dikurbankan maka semakin tinggi derajat jenazah ketika berada di Puyo. 

Rambu Solo’ sekaligus cara bagi anak keturunan untuk tetap memuliakan orang tua. Anak keturunan akan berlomba-lomba mengorbankan hewan sebanyak-banyaknya sehingga jenazah memperoleh tempat yang mulia. Rambu Solo’ bagi masyarakat Toraja merupakan salah satu bentuk bakti seorang anak kepada orang tua dan pengikat tali silaturahmi dalam keluarga besar.

Meski secara medis sudah meninggal, jenazah dianggap “sedang sakit” yang dalam bahasa Toraja disebut To Makula’ dan oleh anggota keluarga atau tetangga akan diperlakukan sebagaimana orang yang sedang sakit atau dalam kondisi lemah. Ini berakhir ketika Rambu Solo’ dimulai, bagi yang bersangkutan, oleh keluarga atau keturunannya. Rambu Solo’ pada intinya adalah Meaya, yakni memindahkan mengarak jenazah dari Tongkonan ke liang di tebing batu.

Sumber: Budaya Nusantara-Kemendikbud RI

 

#Topik Terkait

cropped-FAVICON-1.png
IDenesia Daily
hello world!
cross